KAJIAN ATAS ASUMSI DASAR, PARADIGMA, DAN KERANGKA TEORI ILMU PENGETAHUAN.
Judul : Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma, Dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan.
Penulis : Mohammad Muslih
Kata Pengantar : Prof. Dr. H. Kaelan, M.S.
Sampul & Layout : W@Khyudin
Cetakan I : April 2016 Hlm. : Xxiii + 279; 14,5 X 21 Cm
Penerbit : L E S F I Jl. Solo Km. 8, Nayan 108A, Maguwoharjo Yogyakarta;
Email: Kksjogja@Gmail.Com
KATA PENGANTAR
Dalam sejarah perkembangan ilmu, peran filsafat ilmu dalam struktur bangunan keilmuan tidak bisa disangsikan. Sebagai landasan filosofis bagi tegaknya suatu ilmu, mustahil para ilmuwan menafikan peran filsafat ilmu dalam setiap kegiatan keilmuan. Seiring dengan itu, kesadaran untuk meningkatkan mutu akademik di kalangan akademisi, membuat disiplin ini semakin dirasakan peran pentingnya. Maka wajar jika disiplin ini menjadi mata kuliah yang tidak hanya diminati, tetapi dibutuhkan, baik di lingkungan program pascasarjana, yang memang sebagai ‘ujung tombak’ pengembangan ilmu, maupun pada program sarjana (S-1), yang dalam hal ini sebagai ‘pembuka jalan’ bagi terbentuknya dasar-dasar bangunan tradisi ilmiah. Selama ini, bangunan keilmuan pada lingkungan akademik bukan sama sekali tidak memiliki landasan filosofis. Ilmu logika baik logika tradisional, yang bercirikan bahasa dan pola pikir deduktis, maupun logika modern (yang juga dikenal dengan logika saintifika) dengan pola induktif dan simbol-simbolnya, jelas tidak sedikit peranannya dalam membangun wawasan ilmiah akademik. Formalisme, naturalisme, saintisme, dan instrumentalisme merupakan beberapa ciri yang paling menonjol dari logika. Dengan beberapa ciri ini, maka logika selama ini dianggap sebagai satu-satunya pola pikir yang bisa dipertanggungjawabkan. Namun, peran ilmu logika dewasa ini dirasakan tidak mencukupi, justru karena karakter logika itu sendiri. Formalisme mengandaikan kebenaran diperoleh dengan rumus-rumus rasional. Naturalisme mengandaikan bahwa seluruh fenomena sejalan dengan hukum alam. Saintisme mengandaikan sains benar-benar merupakan representasi realitas. Dan instrumentalisme melihat subjektivitas dan praandaian manusia tidak ada kaitannya dengan proses pengetahuan, karena manusia dengan rasionya bertindak sebagai alat. Secara khusus, penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Kaelan yang berkenan memberikan kata pengantar atas karya ini. Berbagai diskusi dan masukan juga banyak diberikan terkait filsafat ilmu, metodologi penelitian, dan kaitan antara keduanya. Selanjutnya, tidak lupa penulis sampaikan terima kasih juga kepada Mas Surgana dari Penerbit Belukar atas kerjasamanya dalam menerbitkan buku edisi revisi ini. Akhirnya, penulis berharap, karya sederhana ini dapat memberikan sumbangan bagi terbentuknya wawasan keilmuan di kampus tercinta.
A. Latar Belakang
Secara sederhana filsafat dapat diartikan sebagai berpikir menurut tata tertib dengan bebas dan dengan sedalamdalamnya, sehingga sampai ke dasar suatu persoalan, yakni berpikir yang mempunyai ciri-ciri khusus, seperti analitis, pemahaman, deskriptif, evaluatif, interpretatif dan spkekulatif. Sejalan dengan pengertian ini, Musa Asy’ari menulis, filsafat adalah berpikir bebas, radikal, dan berada pada dataran makna. Bebas artinya tidak ada yang menghalangi kerja pikiran. Radikal artinya berpikir sampai ke akar masalah, mendalam, bahkan sampai melewati batas-batas fisik atau disebut metafisis. Sedang berpikir dalam tahap makna berarti menemukan makna terdalam dari sesuatu yang terkandung di dalamnya. Makna tersebut bisa berupa nilai-nilai seperti kebenaran, keindahan maupun kebaikan. Menurut M Amin Abdullah, filsafat bisa diartikan: sebagai aliran atau hasil pemikiran, yang berujud sistem pemikiran yang konsisten dan dalam taraf tertentu sebagai sistem tertutup (closed system), dan sebagai metode berpikir, yang dapat dicirikan: mencari ide dasar yang bersifat fundamental (fundamental ideas), membentuk cara berpikir kritis (critical thought), dan menjunjung tinggi kebebasan serta keterbukaan intelektual (intelectual freedom). Filsafat Ilmu sebagai bagian dari rumpun filsafat juga mewarisi kerangka pikir demikian. Ada beberapa definisi tentang filsafat ilmu, antara lain: Lewis White Beck menulis: philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking tries to determine the value and significance of the scientific enterprise as a whole. Peter A. Angeles, sebagaimana dikutip The Liang Gie, menjelaskan bahwa filsafat ilmu merupakan “suatu analisis dan pelukisan tentang ilmu dari berbagai sudut tinjauan, termasuk logika, metodologi, sosiologi, sejarah ilmu dan lain-lain” Sementara itu. Cornelis Benjamin mendefinisikan filsafat ilmu sebagai disiplin filsafat yang merupakan studi kritis dan sistematis mengenai dasar-dasar ilmu pengetahuan, khu susnya yang berkaitan dengan metode-metode, konsep-konsep, praduga-praduganya, serta posisinya dalam kerangka umum cabang-cabang intelektual.
B. Signifikansi Filsafat Ilmu
Dalam kehidupan sehari-hari, tentu kita sudah terbiasa memanfaatkan benda-benda di sekeliling kita, untuk itu wajar kalau kita mengenalnya dengan baik, atau paling tidak mengetahuinya dengan benar. Mulai dari perabotan rumah tangga, seperti gelas, piring, dll; peralatan sekolah, seperti pensil, penggaris, buku, dst. Kita juga mengenal berbagai jenis dan nama tumbuhan, jenis dan nama binatang yang juga bisa dimanfaatkan untuk kehidupan kita. Begitu juga, kita bisa membedakan bahwa si A adalah rajin, si B anaknya pandai, si C orangnya sopan dll. Pernahkan kita memikirkan bagaimana kita tiba-tiba memberi sebutan sesuatu dengan istilah tertentu?; bagaimana sebenarnya proses perkenalan kita dengan benda yang kita beri sebutan tertentu itu? Pada saat yang lain, kita juga mengenal, atau bahkan telah memanfaatkan hasil teknologi mutakhir, misalnya, radio, TV, komputer, kulkas, kipas angin, AC, internet, telpon seluler, dll. Beberapa hal ini jelas merupakan sumbangan dan kontribusi nyata dari ilmu-ilmu kealaman. Temuan-temuan ini, sudah tentu telah melalui proses yang cukup panjang, bahkan terus diupayakan pengembangannya. Sampai hari ini, sudah berapa banyak temuan berharga di bidang ilmu kealaman sains, di bidang ilmu-ilmu sosial, kedokteran, biologi, farmasi dll, baik berupa konsep, teori, hukum-hukum, tesis, hipotesis maupun yang sudah berujud teknologi; baik yang sudah diakui oleh masyarakat maupun yang masih menjadi persoalan kontroversial, bahkan yang hanya menjadi sekedar wacana. Seiring dengan temuan-temuan tersebut, sampai hari ini sudah berapa disiplin ilmu yang kita kenal, berapa disiplin ilmu yang lahir dari ilmu kealaman, berapa disiplin ilmu yang lahir dari ilmu sosial. Demikian juga berapa disiplin yang dilahirkan dari kelompok ilmu humanities.
C. Dari Pola Pikir Hingga Pola Hidup
Hal lain yang banyak menarik perhatian para filsuf ilmu adalah -bisa dikatakan- perkembangan sosiologis lebih jauh dari suatu ilmu, dalam hal ini, adanya kecenderungan bahwa problem epistemologis yang awalnya hanya sebagai pola pikir dalam melahirkan ilmu, kemudian menguat menjadi pola hidup, bahkan sebagai pandangan dunia weltanschauung. Yang menarik, hal ini tidak saja terjadi di kalangan ilmuwan komunitas ilmiah, dalam bahasa Kuhn, tetapi juga di kalangan masyarakat awam pada umumnya yang, baik sadar maupun tidak, telah terhegemoni oleh otoritas suatu pola pikir tertentu. Pola pikir saintifik yang digunakan ilmuwan fisika dalam melihat fenomena alam, secara serta merta diterapkan dalam melihat fenomena sosial. Meski harus diakui bahwa hal ini membawa kepada kelahiran suatu ilmu, yang disebut ilmu pengetahuan sosial sosiologi, namun sebagaimana kritik dari ilmuwan sosial sendiri, hal itu telah menimbulkan suatu proses yang disebut naturalisasi dan universalisasi dinamika sosial masyarakat. Bahkan bias saintisme yang positivistis ini juga terjadi dalam melihat fenomena sosial-keagamaan. Hal ini yang membuat geram para agamawan yang merasa akarakar spiritualitas dan religiositas keberagamaannya tercerabut, atas ulah pola pikir saintifik ini. Pola pikir saintifik yang mengusung naturalisasi dan rasionalisasi ini, pada akhirnya muncul sebagai sebuah per adaban modern, yakni suatu peradaban yang menuntut efisiensi, kompetetif, dinamis dan lain-lain. Inilah yang kemudian secara massal, masyarakat abad ini telah mengalami suatu proses dehumanisasi, budaya persaingan, budaya konsumtifisme, dst. Pola pikir saintifik kemudian menjadi pola hidup saintisme, pola pikir naturalistis menjadi naturalisme, pola pikir modernitas menjadi modernisme, demikian seterusnya.
D. Dari Epistemologi ke Filsafat Ilmu
Pada uraian di atas tampak jelas, bahwa baik epistemologi maupun filsafat ilmu sama-sama merupakan cabang dari filsafat yang secara khusus membahas proses keilmuan manusia. Keduanya memiliki lebih banyak persamaan dari pada perbedaan. Perbedaan itu hanyalah terletak pada objek material baca: objek kajian nya, yakni dalam hal ini, epistemologi menjadikan ‘pengetahuan’ sebagai objek kajiannya, sedang filsafat ilmu, objek kajiannya adalah ilmu pengetahuan. Meski demikian, dewasa ini kedua objek kajian ini sudah merupakan pembahasan yang —bisa dikatakan— beda tipis untuk tidak mengatakan sama.
KESIMPULAN
Setelah mengikuti uraian dari awal hingga akhir buku ini, dapat diberi catatan penutup, bahwa problem keilmuan memiliki dinamikanya sendiri dari masa ke masa. Dinamika keilmuan itu seiring dengan dinamika ‘wacana dominan’ yang memberikan kerangka dasar bagi proses penggaliannya. Berdasarkan perjalanan keilmuan yang diuraikan sepanjang buku ini, dapat ditemukan bahwa persoalan keilmuan ‘terberat’ dewasa ini, adalah apa yang dikenal dengan “krisis pengetahuan.” Yang dimaksud dengan krisis pengetahuan di sini bukanlah berkurangnya pengetahuan, sebab dewasa ini pengetahuan justru bertambah, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Krisis ini lebih menyangkut menyempitnya pengetahuan akibat reduksi-reduksi metodologis tertentu yang disertai dengan fragmentasi dan instrumentalisasi pengetahuan. Suatu ‘krisis’ terjadi bila terjadi peralihan dari keadaan lama ke keadaan baru yang belum pasti. Misalnya, cara berpikir yang lama telah ditinggalkan, tetapi cara berpikir yang baru belum seluruhnya terintegrasi dalam diri manusia dengan segenap matranya, sehingga justru menghasilkan keresahan dan kegelisahan yang mendalam akibat belum terbentuknya world view yang utuh.
DASAR, PARADIGMA, DAN KERANGKA TEORI ILMU PENGETAHUAN.
Judul : Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma, Dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan.
Penulis : Mohammad Muslih
Kata Pengantar : Prof. Dr. H. Kaelan, M.S.
Sampul & Layout : W@Khyudin
Cetakan I : April 2016 Hlm. : Xxiii + 279; 14,5 X 21 Cm
Penerbit : L E S F I Jl. Solo Km. 8, Nayan 108A, Maguwoharjo Yogyakarta;
Email: Kksjogja@Gmail.Com
KATA PENGANTAR
Dalam sejarah perkembangan ilmu, peran filsafat ilmu dalam struktur bangunan keilmuan tidak bisa disangsikan. Sebagai landasan filosofis bagi tegaknya suatu ilmu, mustahil para ilmuwan menafikan peran filsafat ilmu dalam setiap kegiatan keilmuan. Seiring dengan itu, kesadaran untuk meningkatkan mutu akademik di kalangan akademisi, membuat disiplin ini semakin dirasakan peran pentingnya. Maka wajar jika disiplin ini menjadi mata kuliah yang tidak hanya diminati, tetapi dibutuhkan, baik di lingkungan program pascasarjana, yang memang sebagai ‘ujung tombak’ pengembangan ilmu, maupun pada program sarjana (S-1), yang dalam hal ini sebagai ‘pembuka jalan’ bagi terbentuknya dasar-dasar bangunan tradisi ilmiah. Selama ini, bangunan keilmuan pada lingkungan akademik bukan sama sekali tidak memiliki landasan filosofis. Ilmu logika baik logika tradisional, yang bercirikan bahasa dan pola pikir deduktis, maupun logika modern (yang juga dikenal dengan logika saintifika) dengan pola induktif dan simbol-simbolnya, jelas tidak sedikit peranannya dalam membangun wawasan ilmiah akademik. Formalisme, naturalisme, saintisme, dan instrumentalisme merupakan beberapa ciri yang paling menonjol dari logika. Dengan beberapa ciri ini, maka logika selama ini dianggap sebagai satu-satunya pola pikir yang bisa dipertanggungjawabkan. Namun, peran ilmu logika dewasa ini dirasakan tidak mencukupi, justru karena karakter logika itu sendiri. Formalisme mengandaikan kebenaran diperoleh dengan rumus-rumus rasional. Naturalisme mengandaikan bahwa seluruh fenomena sejalan dengan hukum alam. Saintisme mengandaikan sains benar-benar merupakan representasi realitas. Dan instrumentalisme melihat subjektivitas dan praandaian manusia tidak ada kaitannya dengan proses pengetahuan, karena manusia dengan rasionya bertindak sebagai alat. Secara khusus, penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Kaelan yang berkenan memberikan kata pengantar atas karya ini. Berbagai diskusi dan masukan juga banyak diberikan terkait filsafat ilmu, metodologi penelitian, dan kaitan antara keduanya. Selanjutnya, tidak lupa penulis sampaikan terima kasih juga kepada Mas Surgana dari Penerbit Belukar atas kerjasamanya dalam menerbitkan buku edisi revisi ini. Akhirnya, penulis berharap, karya sederhana ini dapat memberikan sumbangan bagi terbentuknya wawasan keilmuan di kampus tercinta.
A. Latar Belakang
Secara sederhana filsafat dapat diartikan sebagai berpikir menurut tata tertib dengan bebas dan dengan sedalamdalamnya, sehingga sampai ke dasar suatu persoalan, yakni berpikir yang mempunyai ciri-ciri khusus, seperti analitis, pemahaman, deskriptif, evaluatif, interpretatif dan spkekulatif. Sejalan dengan pengertian ini, Musa Asy’ari menulis, filsafat adalah berpikir bebas, radikal, dan berada pada dataran makna. Bebas artinya tidak ada yang menghalangi kerja pikiran. Radikal artinya berpikir sampai ke akar masalah, mendalam, bahkan sampai melewati batas-batas fisik atau disebut metafisis. Sedang berpikir dalam tahap makna berarti menemukan makna terdalam dari sesuatu yang terkandung di dalamnya. Makna tersebut bisa berupa nilai-nilai seperti kebenaran, keindahan maupun kebaikan. Menurut M Amin Abdullah, filsafat bisa diartikan: sebagai aliran atau hasil pemikiran, yang berujud sistem pemikiran yang konsisten dan dalam taraf tertentu sebagai sistem tertutup (closed system), dan sebagai metode berpikir, yang dapat dicirikan: mencari ide dasar yang bersifat fundamental (fundamental ideas), membentuk cara berpikir kritis (critical thought), dan menjunjung tinggi kebebasan serta keterbukaan intelektual (intelectual freedom). Filsafat Ilmu sebagai bagian dari rumpun filsafat juga mewarisi kerangka pikir demikian. Ada beberapa definisi tentang filsafat ilmu, antara lain: Lewis White Beck menulis: philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking tries to determine the value and significance of the scientific enterprise as a whole. Peter A. Angeles, sebagaimana dikutip The Liang Gie, menjelaskan bahwa filsafat ilmu merupakan “suatu analisis dan pelukisan tentang ilmu dari berbagai sudut tinjauan, termasuk logika, metodologi, sosiologi, sejarah ilmu dan lain-lain” Sementara itu. Cornelis Benjamin mendefinisikan filsafat ilmu sebagai disiplin filsafat yang merupakan studi kritis dan sistematis mengenai dasar-dasar ilmu pengetahuan, khu susnya yang berkaitan dengan metode-metode, konsep-konsep, praduga-praduganya, serta posisinya dalam kerangka umum cabang-cabang intelektual.
B. Signifikansi Filsafat Ilmu
Dalam kehidupan sehari-hari, tentu kita sudah terbiasa memanfaatkan benda-benda di sekeliling kita, untuk itu wajar kalau kita mengenalnya dengan baik, atau paling tidak mengetahuinya dengan benar. Mulai dari perabotan rumah tangga, seperti gelas, piring, dll; peralatan sekolah, seperti pensil, penggaris, buku, dst. Kita juga mengenal berbagai jenis dan nama tumbuhan, jenis dan nama binatang yang juga bisa dimanfaatkan untuk kehidupan kita. Begitu juga, kita bisa membedakan bahwa si A adalah rajin, si B anaknya pandai, si C orangnya sopan dll. Pernahkan kita memikirkan bagaimana kita tiba-tiba memberi sebutan sesuatu dengan istilah tertentu?; bagaimana sebenarnya proses perkenalan kita dengan benda yang kita beri sebutan tertentu itu? Pada saat yang lain, kita juga mengenal, atau bahkan telah memanfaatkan hasil teknologi mutakhir, misalnya, radio, TV, komputer, kulkas, kipas angin, AC, internet, telpon seluler, dll. Beberapa hal ini jelas merupakan sumbangan dan kontribusi nyata dari ilmu-ilmu kealaman. Temuan-temuan ini, sudah tentu telah melalui proses yang cukup panjang, bahkan terus diupayakan pengembangannya. Sampai hari ini, sudah berapa banyak temuan berharga di bidang ilmu kealaman sains, di bidang ilmu-ilmu sosial, kedokteran, biologi, farmasi dll, baik berupa konsep, teori, hukum-hukum, tesis, hipotesis maupun yang sudah berujud teknologi; baik yang sudah diakui oleh masyarakat maupun yang masih menjadi persoalan kontroversial, bahkan yang hanya menjadi sekedar wacana. Seiring dengan temuan-temuan tersebut, sampai hari ini sudah berapa disiplin ilmu yang kita kenal, berapa disiplin ilmu yang lahir dari ilmu kealaman, berapa disiplin ilmu yang lahir dari ilmu sosial. Demikian juga berapa disiplin yang dilahirkan dari kelompok ilmu humanities.
C. Dari Pola Pikir Hingga Pola Hidup
Hal lain yang banyak menarik perhatian para filsuf ilmu adalah -bisa dikatakan- perkembangan sosiologis lebih jauh dari suatu ilmu, dalam hal ini, adanya kecenderungan bahwa problem epistemologis yang awalnya hanya sebagai pola pikir dalam melahirkan ilmu, kemudian menguat menjadi pola hidup, bahkan sebagai pandangan dunia weltanschauung. Yang menarik, hal ini tidak saja terjadi di kalangan ilmuwan komunitas ilmiah, dalam bahasa Kuhn, tetapi juga di kalangan masyarakat awam pada umumnya yang, baik sadar maupun tidak, telah terhegemoni oleh otoritas suatu pola pikir tertentu. Pola pikir saintifik yang digunakan ilmuwan fisika dalam melihat fenomena alam, secara serta merta diterapkan dalam melihat fenomena sosial. Meski harus diakui bahwa hal ini membawa kepada kelahiran suatu ilmu, yang disebut ilmu pengetahuan sosial sosiologi, namun sebagaimana kritik dari ilmuwan sosial sendiri, hal itu telah menimbulkan suatu proses yang disebut naturalisasi dan universalisasi dinamika sosial masyarakat. Bahkan bias saintisme yang positivistis ini juga terjadi dalam melihat fenomena sosial-keagamaan. Hal ini yang membuat geram para agamawan yang merasa akarakar spiritualitas dan religiositas keberagamaannya tercerabut, atas ulah pola pikir saintifik ini. Pola pikir saintifik yang mengusung naturalisasi dan rasionalisasi ini, pada akhirnya muncul sebagai sebuah per adaban modern, yakni suatu peradaban yang menuntut efisiensi, kompetetif, dinamis dan lain-lain. Inilah yang kemudian secara massal, masyarakat abad ini telah mengalami suatu proses dehumanisasi, budaya persaingan, budaya konsumtifisme, dst. Pola pikir saintifik kemudian menjadi pola hidup saintisme, pola pikir naturalistis menjadi naturalisme, pola pikir modernitas menjadi modernisme, demikian seterusnya.
D. Dari Epistemologi ke Filsafat Ilmu
Pada uraian di atas tampak jelas, bahwa baik epistemologi maupun filsafat ilmu sama-sama merupakan cabang dari filsafat yang secara khusus membahas proses keilmuan manusia. Keduanya memiliki lebih banyak persamaan dari pada perbedaan. Perbedaan itu hanyalah terletak pada objek material baca: objek kajian nya, yakni dalam hal ini, epistemologi menjadikan ‘pengetahuan’ sebagai objek kajiannya, sedang filsafat ilmu, objek kajiannya adalah ilmu pengetahuan. Meski demikian, dewasa ini kedua objek kajian ini sudah merupakan pembahasan yang —bisa dikatakan— beda tipis untuk tidak mengatakan sama.
KESIMPULAN
Setelah mengikuti uraian dari awal hingga akhir buku ini, dapat diberi catatan penutup, bahwa problem keilmuan memiliki dinamikanya sendiri dari masa ke masa. Dinamika keilmuan itu seiring dengan dinamika ‘wacana dominan’ yang memberikan kerangka dasar bagi proses penggaliannya. Berdasarkan perjalanan keilmuan yang diuraikan sepanjang buku ini, dapat ditemukan bahwa persoalan keilmuan ‘terberat’ dewasa ini, adalah apa yang dikenal dengan “krisis pengetahuan.” Yang dimaksud dengan krisis pengetahuan di sini bukanlah berkurangnya pengetahuan, sebab dewasa ini pengetahuan justru bertambah, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Krisis ini lebih menyangkut menyempitnya pengetahuan akibat reduksi-reduksi metodologis tertentu yang disertai dengan fragmentasi dan instrumentalisasi pengetahuan. Suatu ‘krisis’ terjadi bila terjadi peralihan dari keadaan lama ke keadaan baru yang belum pasti. Misalnya, cara berpikir yang lama telah ditinggalkan, tetapi cara berpikir yang baru belum seluruhnya terintegrasi dalam diri manusia dengan segenap matranya, sehingga justru menghasilkan keresahan dan kegelisahan yang mendalam akibat belum terbentuknya world view yang utuh.
Komentar
Posting Komentar